Jakarta, Lini Indonesia – Rupiah menjadi mata uang paling kuat di Asia pada perdagangan baru-baru ini. Menurut data Refinitiv, NDF rupiah di spot menguat 0,53% ke Rp16.393 per dolar AS pada perdagangan 17 Juni 2024 sekitar pukul 14.00 WIB.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu, yang seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menunjukkan volatilitas yang signifikan, sempat menembus Rp16.400 per dolar AS.
“Memang terlihat mulai ada tekanan sejak Minggu lalu saat data non-farm payrolls keluar. Ternyata (data) lebih tinggi sehingga ada kenaikan indeks dolar,” ujar David, dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, Jumat (14/6/2024).
Pada penutupan perdagangan pekan lalu, dolar AS menguat tajam hingga mencapai Rp16.400 sebelum akhirnya melemah 0,80% ke posisi Rp16.395.
David Sumual, kepala ekonom BCA, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah dipicu oleh faktor eksternal seperti kuatnya indeks dolar.
Faktor dalam negeri seperti outflow di pasar saham, pembayaran dividen, kenaikan impor, dan repositioning fund manager ke kawasan lain juga turut berkontribusi.
Fithra Faisal Hastiadi, Economic Adviser PT Samuel Sekuritas Indonesia, menambahkan bahwa rencana kebijakan fiskal ekspansif dari Presiden terpilih Prabowo Subianto juga melemahkan rupiah.
Rancangan defisit anggaran dalam APBN 2025 dipatok antara 2,45-2,82% dari PDB, dengan rasio utang diperkirakan antara 37,98-38,71%, yang bisa mencapai 47% dalam lima tahun ke depan.
“Nanti lima tahun ke depan akan melebar debt to GDP ratio. Artinya dalam lima tahun ke depan bakal bisa menjadi 47% mendekati 50%,” nya.
Wahyu Widodo, ekonom dari Universitas Diponegoro, menambahkan bahwa defisit anggaran lebih dipengaruhi oleh faktor psikologis dan kepercayaan pasar.
Program fiskal yang ekspansif tanpa peningkatan penerimaan negara yang jelas menimbulkan spekulasi pasar, terutama terkait dengan APBN transisi untuk pemerintahan baru. (*)