IMF juga telah menyetujui dana talangan kepada pakistan sebesar US$ 3 miliar pada tahun ini. Dewan Eksekutif IMF mengatakan pada Juli lalu bahwa dana tersebut akan disalurkan selama kurang lebih sembilan bulan. Sebanyak $1,2 miliar (setara Rp18 triliun) akan segera dicairkan.
Negara ini mengalami inflasi tinggi dan hancurnya nilai mata uang di dalam negeri. Harga barang-barang pokok seperti susu telah melonjak dan menyebabkan berbagai permasalahan sosial.
Afganistan
Afganistan telah terhuyung-huyung dari krisis ekonomi yang mengerikan sejak Taliban mengambil alih usai AS dan sekutu NATO-nya menarik pasukan mereka pada 2021. Bantuan asing yang telah lama menjadi andalan praktis terhenti. Amerika Serikat pun memberlakukan sanksi, menghentikan transfer bank, dan melumpuhkan perdagangan, menolak untuk mengakui pemerintah Taliban.
Argentina
Argentina menghadapi kondisi ekonomi kronis ditandai lonjakan inflasi, fluktuasi suku bunga, devaluasi mata uang, hingga situasi hukum dan ketertiban yang meresahkan. Ekonomi Argentina yang pernah menjadi pusat ekonomi di Amerika Selatan ini kini bergulat dengan tingkat inflasi tahunan yang mencapai lebih dari 50%. Beberapa ahli bahkan melihat angka inflasi sebenarnya bahkan sudah mencapai 15% karena harga-harga makanan, bahan bakar, dan obat-obatan melonjak.
Suku bunga negara ini juga berfluktuasi di tengah upaya untuk mengekang inflasi dan menstabilkan mata uang. Bank Sentral Argentina telah mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan situasi moneter, tetapi langkah-langkah ini telah menyebabkan fluktuasi suku bunga. Kerusuhan sipil juga kerap muncul di negarsa ini. Insiden penjarahan dan protes semakin meningkat.
Argentina adalah pasien lama IMF dengan pinjaman terbesar di antara negara lainnya. Hingga awal bulan ini, pinjaman Argentina ke IMF sudah mencapai US$ 44 miliar.
Sri Lanka
Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi yang sudah menjalar ke krisis multidimensional. Pemerintahnya sendiri sejak tahun lalu telah menyebut kondisinya sudah runtuh total.
Tanda-tanda potensi suramnya ekonomi Sri Lanka sebenarnya sudah ada sejak klan Rajapaksa yang kuat merebut kembali kendali negara setelah kemenangan besar dalam pemilihan umum pada November 2019. Politik dinasti mereka yang memecah belah, dikombinasikan dengan keputusan keuangan yang buruk membawa Sri Lanka menuju kehancuran.
Pandemi memang menjadi titik bencana bagi ekonomi negara yang bergantung pada pariwisata ini. Namun, jalan yang diambil Sri Lanka menuju kehancuran sudah dimulai jauh sebelum pandemi.
Hampir sepertiga penduduk Sri Lanka kini kesulitan mengakses pangan. Setiap keluarga terpaksa menghabiskan lebih dari 70% pendapatan mereka untuk makanan. Kini bahkan banyak warga Sri Lanka yang harus memakan nangka setiap hari agar tak kelaparan. Tanaman ini banyak tumbuh di Sri Lanka dan dijual dengan harga yang murah.
Laos
Laos yang kecil dan terkurung oleh daratan adalah salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat hingga pandemi akhirnya melanda. Seperti Sri Lanka, utang Laos melonjak dan kini tengah dalam pembicaraan dengan kreditur tentang cara membayar kembali pinjaman senilai miliaran dolar. Pembicaraan ini mendesak mengingat keuangan pemerintah Laos sangat lemah.