“Kita semua paham perbedaan politik itu wajar, tapi kalau ego pribadi lebih dominan daripada kepentingan rakyat, itu pengkhianatan terhadap mandat publik. Sidoarjo butuh pemimpin yang mau duduk bersama, bukan saling menjatuhkan,” tegas Badruzaman.
“Setiap rupiah dari APBD adalah uang rakyat. Kalau dibiarkan mengendap jadi SILPA karena konflik, berarti ada ketidakadilan yang nyata. Pemimpin harus kembali ke nurani,” tambahnya.
Warga kini berharap kedua pimpinan daerah menurunkan tensi politik dan kembali fokus pada kerja nyata. Dengan waktu yang kian sempit, setiap hari keterlambatan bisa berarti hilangnya kesempatan untuk menuntaskan program penting.
Rakyat menunggu bukti, bukan janji. Jika konflik pribadi lebih diutamakan daripada tanggung jawab publik, maka Sidoarjo berisiko mengulang pola lama — anggaran terserap rendah, pembangunan tersendat, dan kepercayaan publik kian terkikis.(*)