Aset Daerah Naik Rp250 Miliar, Proyeknya Tak Nampak

Sidoarjo, Lini Indonesia – Laporan keuangan tahun 2024 mencatat lonjakan aset daerah hingga ratusan miliar rupiah. Namun, ketika ditelusuri, kenaikan itu tidak disertai pembangunan baru di lapangan. Sebagian besar berasal dari rekonsiliasi jurnal, reklasifikasi antar dinas, dan pencatatan ganda aset lama. Fenomena ini membuka tabir dugaan “inflasi aset” dalam neraca pemerintah daerah.

‎Dalam data yang kami terima, total aset tetap daerah melonjak dari Rp5,329 triliun menjadi Rp5,579 triliun, atau naik sekitar Rp250,6 miliar. Tapi peningkatan besar itu tak sebanding dengan kegiatan fisik yang terjadi di lapangan.

‎Sumber kenaikan terbesar justru bukan dari proyek pembangunan baru, melainkan dari “rekonsiliasi antar dinas” dan “reklasifikasi antar akun aset tetap”.
‎Beberapa aset yang sama tercatat di dua instansi berbeda, bahkan di tahun yang sama.

‎Salah satu contoh mencolok terjadi antara Dinas Perumahan, Permukiman, dan Cipta Karya (Disperkim) dengan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Sumber Daya Air (PUBMSDA).
‎Satu proyek jasa konsultan konstruksi untuk pengelolaan air minum (SPAM) ditemukan dicatat dua kali sebagai aset tetap oleh masing-masing dinas.

‎“Ini bisa disebut dobel akun antar unit. Dalam standar akuntansi pemerintahan, pencatatan aset semacam itu melanggar prinsip keandalan laporan keuangan,” ujar Dr. Fadhil Ananta, peneliti Lembaga Transparansi Fiskal Nusantara (LTFN), kepada liniindonesia, Selasa (28/10).

‎Fadhil menegaskan, jika satu kegiatan tercatat dua kali, nilai aset daerah otomatis meningkat secara semu.
‎“Secara kas tidak ada tambahan aset fisik, tapi di atas kertas neraca membengkak. Ini bukan sekadar salah teknis, melainkan bisa menyesatkan publik,” katanya.

‎Reklasifikasi yang Tak Wajar

‎Selain pencatatan ganda, laporan keuangan juga menunjukkan reklasifikasi belanja barang dan jasa menjadi aset tetap.

‎Contohnya, pembelian 42 unit Handy Talkie (HT) senilai Rp294 juta yang awalnya menggunakan Belanja Tak Terduga (BTT), kemudian diubah pencatatannya menjadi aset Diskominfo.

‎“Belanja tak terduga itu semestinya bersifat insidental. Kalau kemudian dikonversi jadi aset, perlu dasar hukum dan audit teknis,” jelas Fadhil.

‎Reklasifikasi lain yang lebih besar terjadi pada proyek jembatan Kedungpeluk senilai Rp2,46 miliar. Meski berasal dari dana tanggap darurat, proyek itu kini tercatat sebagai aset tetap “Jalan dan Jembatan”. Padahal, belanja darurat seharusnya tidak langsung diakui sebagai aset tanpa proses kapitalisasi yang jelas.

‎Kenaikan Tanpa Pembangunan

‎Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa nilai aset meningkat pesat sementara pembangunan fisik stagnan?

‎Hasil konfirmasi ke sejumlah sumber internal menunjukkan adanya pola administratif yang disebut “penyesuaian jurnal antar dinas”, yakni pemindahan nilai aset dari satu SKPD ke SKPD lain untuk menyeimbangkan laporan neraca. Dalam proses ini, sering muncul nilai ganda atau selisih aset yang tak disertai bukti fisik.

‎“Ini seolah-olah aset baru tercipta hanya lewat keyboard. Tidak ada proyek, tapi nilainya naik miliaran rupiah,” ungkap salah satu pejabat keuangan daerah yang enggan disebutkan namanya.

‎Kondisi ini menandakan lemahnya pengawasan internal dan validasi aset oleh BPKAD.
‎Di lapangan, beberapa proyek yang diklaim masuk dalam tambahan aset 2024 bahkan belum selesai atau masih dalam tahap administrasi dokumen.

‎Dampak dan Risiko

‎Pencatatan ganda dan reklasifikasi yang tidak sah dapat berujung pada overstatement aset dalam laporan keuangan daerah.
‎Artinya, angka dalam neraca tampak sehat, tetapi sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan riil pemerintah.

‎“Kalau ini dibiarkan, laporan keuangan bisa terlihat bagus di atas kertas tapi lemah secara substansi. Publik melihat kinerja keuangan positif, padahal sebagian asetnya fiktif,” tegas Fadhil.

‎Fenomena ini juga bisa memengaruhi penilaian opini audit BPK di tahun-tahun mendatang. Sebab, akurasi pengakuan aset merupakan salah satu indikator utama opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Bila praktik ini terus berlanjut, status WTP bisa terancam.

‎Hingga kini, belum ada klarifikasi resmi dari pemerintah daerah mengenai dasar kenaikan aset tersebut. Namun, data CALK menunjukkan bahwa sebagian besar kenaikan berasal dari penyesuaian jurnal, bukan pembangunan nyata.
‎Ketika angka tumbuh tanpa proyek, publik patut bertanya: apakah kekayaan daerah benar bertambah atau sekadar bertambah di kertas laporan keuangan.(YG)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *