Terungkap, Sebanyak Rp. 1,6 Miliar Retribusi Pasar Krian Nunggak Sejak Tahun 2016

Sidoarjo, Lini Indonesia – Delapan tahun sudah piutang retribusi pasar milik Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tak kunjung tertagih. Nilainya tak kecil mencapai lebih dari Rp1,6 miliar, bersumber dari retribusi pelayanan pasar di Kecamatan Krian. Meski sudah diakui sebagai piutang macet, angka itu tetap tercatat dalam neraca daerah hingga akhir 2024.

‎Dari data yang dihimpun, tercatat piutang retribusi pelayanan pasar senilai Rp1.602.115.000. Piutang itu berasal dari tahun 2016, serta tambahan kecil dari tahun 2018 sebesar Rp13.575.000.

‎Menariknya, meski telah lewat hampir satu dekade, piutang tersebut belum pernah tertagih. Pemerintah daerah memang telah membentuk penyisihan kerugian piutang sebesar 100%, artinya secara akuntansi diakui sulit tertagih. Namun secara hukum, utang itu belum dihapus dari daftar aset piutang.

‎“Jika sudah lewat lima tahun tanpa pergerakan penagihan, itu seharusnya masuk kategori dead account. Dinas teknis wajib mengajukan penghapusan, bukan sekadar penyisihan,” ujar Hafidz Rahman, peneliti kebijakan fiskal dari Institute for Fiscal Transparency (IFT), Selasa (28/10/2025).

‎Menurut Hafidz, kondisi semacam ini menimbulkan distorsi laporan keuangan daerah. Sebab, piutang yang tidak realistis tetap ditampilkan sebagai aset lancar, padahal tidak ada kemungkinan penerimaan kas.

“Dalam praktik audit, angka-angka ini menciptakan aset semu. Nilainya ada di atas kertas, tapi tidak ada realisasi,” tegasnya.

‎Data menunjukkan bahwa piutang retribusi lain mengalami pola serupa.
‎Contohnya, piutang retribusi pelayanan persampahan tahun 2007 senilai Rp31,9 juta, dan piutang retribusi pengujian alat pemadam kebakaran sebesar Rp40,8 juta, keduanya sudah berumur lebih dari 17 tahun dan belum tertagih.

‎Kondisi itu menunjukkan lemahnya mekanisme penagihan dan pemutakhiran data retribusi di daerah.

‎“Masalah ini klasik. Banyak pemerintah daerah masih mencatat piutang tanpa kepastian penagihan karena takut menurunkan nilai aset,” ungkap Hafidz.

‎Ia menambahkan, dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), setiap piutang yang telah melewati masa kedaluwarsa seharusnya dihapus dengan persetujuan kepala daerah dan rekomendasi inspektorat. Namun hingga kini, laporan Sidoarjo masih menampilkan piutang 2007–2016 seolah aktif.

‎Kondisi ini membuat total aset lancar tampak lebih besar dari nilai sebenarnya.
‎Padahal, secara kas, dana Rp1,6 miliar dari retribusi pasar tersebut tidak pernah masuk ke kas daerah sejak 2016.

‎“Itu bisa menyesatkan pembacaan publik terhadap kinerja keuangan daerah. Kalau piutang lama terus dicatat, seolah-olah pemerintah punya potensi penerimaan besar, padahal nihil,” jelas Hafidz.

‎Ia menegaskan, fenomena seperti ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi juga berpotensi melanggar prinsip transparansi fiskal.

“Publik berhak tahu mana aset yang benar-benar produktif, mana yang hanya angka lama yang belum berani dihapus,” ujarnya.

‎Pemerintah Kabupaten Sidoarjo belum memberikan penjelasan resmi terkait status piutang pasar tersebut. Namun sumber internal BPKAD yang enggan disebutkan namanya menyebutkan, piutang itu “masih dalam proses validasi data dengan dinas teknis.”

‎“Delapan tahun tanpa kejelasan itu bukan proses validasi lagi, itu kelalaian,” ujar Hafidz menegaskan.
‎“Setiap tahun neraca menampilkan angka itu tanpa dasar tagihan yang sah. Ini harus dibuka ke publik.”

‎Kasus piutang retribusi pasar Krian senilai Rp1,6 miliar ini hanyalah satu contoh dari sederet piutang lama yang belum tertagih di Kabupaten Sidoarjo. Di tengah tuntutan transparansi dan tata kelola keuangan yang akuntabel, pemerintah daerah perlu berani membersihkan neraca dari angka-angka yang tidak realistis.

‎Sebab pada akhirnya, akuntabilitas bukan hanya tentang laporan keuangan yang rapi, tetapi juga kejujuran terhadap publik.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *