Dosen Hukum Ini Minta Gelar Pahlawan Soeharto Harus Dibatalkan

Malang, LiniIndonesia.com – Wacana pengusulan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November memicu reaksi keras dari kalangan akademisi.

Dr. Dhia Al Uyun, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum, menilai langkah tersebut tidak hanya tidak strategis, tetapi juga harus dibatalkan karena secara fundamental bertentangan dengan prinsip hukum dan kemanusiaan.

Read More

Dhia Al Uyun secara tegas menyatakan bahwa usulan ini perlu dikaji ulang karena Soeharto dinilai tidak memenuhi syarat umum yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, khususnya terkait integritas moral dan keteladanan.

Dhia Al Uyun menyoroti bahwa Dewan Pemberian Gelar perlu dievaluasi, dan proses penyelidikan harus disampaikan secara transparan kepada publik, sesuai prinsip keterbukaan informasi. Menurutnya, dengan adanya catatan kelam di masa Orde Baru, seperti kasus Petrus dan dugaan pelanggaran HAM di Timor-Timur, Papua, dan Aceh yang melibatkan Soeharto namun tidak pernah disidangkan, penetapan integritas beliau menjadi “rimpang” atau berkurang.

“Jika kekerasan yang tidak pernah dipersidangkan itu dianggap sebagai keteladanan, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi legitimasi kekerasan dalam proses penghargaan patriotisme,” ucapnya.

Ia juga menambahkan bahwa klaim sumbangsih positif seperti swasembada pangan 1982 dinilai sebagai kebohongan publik karena dibiayai dengan meningkatkan utang negara tanpa transparansi.
Dari perspektif hukum positif, Dhia Al Uyun menekankan bahwa kasus pelanggaran HAM yang melibatkan Soeharto harus disidangkan. Ia menilai mantan Presiden yang bertanggung jawab atas hilangnya nyawa seharusnya memiliki rasa malu yang besar dan tidak menyetujui diusulkan sebagai Pahlawan Nasional.

“Ia akan menjadi tamparan yang sangat luar biasa bagi keluarga korban pelanggaran HAM, menambah rasa traumatis karena pelaku tidak diadili. Selain itu, keputusan ini dikhawatirkan menjadi pembenaran bagi pejabat di masa depan untuk ‘cuci tangan’ dan membenarkan perilaku buruk,” tegasnya. Lebih parah, ia menambahkan bahwa langkah ini dianggap “mencederai Sila Kedua Pancasila, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” karena Presiden yang menyetujuinya menunjukkan tidak adanya keberpihakan dan empati terhadap situasi tersebut.

Menurut Dhia Al Uyun, penolakan adalah keputusan yang lebih bijak, karena pemerintah seharusnya fokus pada tuntutan rakyat yang mendesak, bukan memunculkan isu yang menyibukkan masyarakat. Ia menegaskan Soeharto jelas-jelas tidak memenuhi syarat umum Pahlawan Nasional.

“Jika gelar tetap diberikan, masyarakat dipastikan akan menolak dengan segala kreativitas mereka, yang berpotensi memicu pergolakan-pergolakan. Keputusan tersebut akan menjadi catatan buruk Indonesia di era Prabowo di mata internasional, sekaligus menunjukkan bahwa Presiden tidak berkomitmen untuk memperbaiki negara dengan lebih baik,” tutupnya. (Yoga)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *