‎Tiga Pilar Bahas Upah Jatim, Sesuaikan Kondisi Ekonomi Daerah

Sidoarjo,Lini Indonesia – Serikat pekerja dan pemangku kepentingan ketenagakerjaan di Jawa Timur sepakat bahwa kebijakan kenaikan upah harus mempertimbangkan kondisi ekonomi daerah dan keberlangsungan dunia usaha.

Kesimpulan ini mengemuka dalam kegiatan NGOBRAS (Ngopi Bareng Serikat Pekerja/Serikat Buruh) “Kenaikan Upah yang Ideal Melihat Kondisi Ekonomi Jawa Timur” yang digelar DPD FSP RTMM K.SPSI Jawa Timur di Sidoarjo, Jumat (19/12/2025).

‎Kegiatan yang diikuti 25 peserta ini dihadiri pimpinan dan ketua serikat pekerja/buruh se-Jawa Timur. Diskusi menghadirkan narasumber dari unsur akademisi, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur, serta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

‎Perwakilan Apindo, Dr. Atmari, SH., M.H., menegaskan bahwa prioritas utama pengusaha adalah menjaga keberlangsungan usaha agar tetap mampu menyerap tenaga kerja. Menurutnya, kenaikan biaya operasional, termasuk upah, akan memicu strategi mitigasi berlapis dari pengusaha.

‎“Pengusaha selalu memulai dari otomatisasi, inovasi, hingga relokasi. Penutupan usaha menjadi langkah terakhir jika semua opsi sudah tidak memungkinkan,” ujar Atmari.

‎Ia juga menyoroti ambiguitas regulasi pengupahan, terutama terkait kewajiban upah sektoral di tingkat kabupaten/kota yang bersifat tidak wajib. Kondisi tersebut, kata dia, kerap menimbulkan perbedaan kebijakan antarwilayah di Jawa Timur.

‎Sementara itu, Andi Yusuf dari Disnaker Provinsi Jawa Timur menjelaskan bahwa diskresi pemerintah daerah muncul sebagai jalan tengah untuk menjaga kondusivitas hubungan industrial.

‎“Regulasi sering hanya berbasis rata-rata. Diskresi diperlukan untuk menjembatani aspirasi daerah berupah tinggi dan daerah yang masih tertinggal, agar iklim investasi dan ketenagakerjaan tetap stabil,” kata Andi.

‎Menurutnya, Pemprov Jawa Timur tidak menerapkan kebijakan upah secara seragam karena mempertimbangkan karakteristik industri yang beragam, khususnya untuk melindungi sektor padat karya dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

‎Dari sisi akademisi, Gigih Prihantono dari Universitas Airlangga mengingatkan bahwa kondisi ekonomi makro Jawa Timur dan nasional sedang menghadapi tantangan serius. Pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan berada di bawah 5 persen berpotensi meningkatkan PHK dan menekan penyerapan tenaga kerja.

‎“Kenaikan upah nominal yang terlalu tinggi justru bisa berdampak negatif karena memicu inflasi dan menurunkan upah riil atau daya beli pekerja,” jelas Gigih.

‎Ia menambahkan, persoalan utama ketenagakerjaan Indonesia bukan semata besaran upah, melainkan kesenjangan produktivitas yang belum sebanding dengan kenaikan upah selama satu dekade terakhir.

‎Melalui forum cangkruan ini, penyelenggara berharap peserta memperoleh pemahaman komprehensif bahwa kisaran kenaikan upah yang ditetapkan pemerintah merupakan angka ideal dan realistis sesuai kondisi ekonomi Jawa Timur. Kenaikan ekstrem sebesar 8,5 hingga 10 persen dinilai berisiko membebani dunia usaha dan berpotensi mengganggu iklim ekonomi serta keberlangsungan kerja di daerah.

‎Forum ini juga menegaskan pentingnya dialog industrial yang berkelanjutan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah sebagai fondasi kebijakan upah yang adil dan berkelanjutan di Jawa Timur. (Yoga)

Read More

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *