Sidoarjo, Lini Indonesia – Keputusan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto yang mengalihkan Rp16,5 miliar dana Bantuan Keuangan Desa (BK Desa) ke pos Alokasi Dana Desa (ADD) untuk Tahun Anggaran 2026 menjadi sinyal koreksi arah pendanaan desa. Kebijakan itu dinilai menutup celah politisasi anggaran dan memperkuat pembiayaan wajib desa lewat ADD.
Di Sidoarjo, sorotan publik kini mengarah pada satu pertanyaan kunci: kapan Pemkab dan DPRD Sidoarjo menyusul langkah serupa, menegaskan komitmen pemenuhan ADD 10 persen dari realisasi pajak daerah, serta menata ulang dominasi BK yang selama ini dinilai rentan menjadi instrumen politik.
Founder Center for Participatory Development (CePAD), Kasmuin, menilai pergeseran kebijakan Mojokerto layak dijadikan benchmark daerah lain, termasuk Sidoarjo, untuk kembali ke prinsip bahwa desa adalah subjek pembangunan, bukan objek transaksi politik anggaran.
“ADD itu mandat regulasi, kewajiban 10 persen dari realisasi pajak daerah harus jelas dulu dipenuhi. Kalau BK justru lebih besar porsinya, kita patut curiga—ini untuk desa atau relasi kuasa di parlemen?” tegas Kasmuin saat dihubungi, Selasa (30/12/2025).
Data PAK (Perubahan Anggaran Keuangan) Sidoarjo September 2025 menunjukkan anggaran BK dan BKU Desa menyentuh sekitar Rp72 miliar. Angka itu jauh di atas realokasi Mojokerto, dan memicu perdebatan di kalangan pemerhati desa: apakah kewajiban ADD 10 persen dari realisasi pajak daerah sudah benar-benar disalurkan, atau justru tergeser oleh besarnya ruang fiskal BK?
Kasmuin menyoroti bahwa BK kerap digunakan DPRD sebagai panggung politik kepedulian semu, yang menciptakan ketergantungan kepala desa kepada parlemen, alih-alih memperkuat kemandirian desa lewat ADD.
“BK selama ini dijadikan komoditas politik. Kasarnya, alat akal-akalan agar DPRD tampak peduli. Padahal ADD 10 persen itu wajib, bukan hibah, bukan kemurahan hati itu hak desa. Kalau itu belum 100 persen terpenuhi, ADD di Sidoarjo seharusnya jadi prioritas, bukan BK,” ujarnya.
Kasmuin juga menyinggung kewajiban bagi hasil pajak dan retribusi daerah minimal 10 persen untuk desa, sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan tentang keuangan daerah dan desa. Menurutnya, jika dana itu belum tersalurkan penuh, maka porsi BK 2025 yang besar justru menjadi ironi.
“Kalau 10 persen bagi hasil pajak daerah saja belum terpenuhi, sementara BK 2025 malah membengkak Rp72 miliar, maka arah fiskal kita sedang tidak baik-baik saja. Ini bukan sekadar pertanyaan administratif, ini soal moral anggaran.”
Kasmuin menambahkan, absennya pernyataan tegas dari Pemkab Sidoarjo hingga saat ini menunjukkan pemerintah daerah masih berkutat pada “kajian”, bukan penegasan kebijakan.
CePAD mencatat, pola dominasi BK atas ADD di banyak daerah menciptakan tiga dampak sistemik: Ketahanan fiskal desa melemah, karena bergantung pada alokasi politis, bukan formula wajib,
Kepala desa rentan dalam relasi kuasa dengan DPRD, karena BK diposisikan sebagai “bantuan”, bukan hak,
Perencanaan pembangunan desa terdistorsi, sebab prioritas anggaran mengikuti dinamika politik, bukan kebutuhan dasar.
Sidoarjo, menurut Kasmuin, punya modal fiskal besar dibanding kabupaten lain. Tetapi modal besar tanpa desain kebijakan yang tepat hanya melahirkan pertanyaan publik, bukan kemajuan.
Hingga berita ini diturunkan, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sidoarjo maupun DPRD Kabupaten Sidoarjo belum merilis pernyataan resmi terkait rencana realokasi BK menjadi ADD 2026, maupun penegasan pemenuhan alokasi ADD 10 persen dari pajak daerah 2025.
Warga dan pemerhati desa mendesak satu hal: transparansi komposisi pendanaan desa, penghentian praktik politisasi BK, serta kepastian kebijakan fiskal yang berpihak pada hak desa.
Kebijakan Mojokerto membuka diskursus baru bahwa realokasi BK ke ADD bukan sekadar opsi teknis, melainkan koreksi arah fiskal untuk menjaga pelayanan dasar desa dari manuver politik anggaran.
Sidoarjo kini berada di bawah sorotan: menyusul, atau tertinggal. Publik menunggu jawaban paling penting di 2026 nanti bukan soal angkanya, tapi soal keberpihakannya.(Yoga)
Kapan Sidoarjo Susul Mojokerto Soal Penghapusan BK dan Optimalisasi ADD







