Jakarta, Lini Indonesia – Pemerintah Indonesia memproyeksikan penerimaan pajak akan meningkat signifikan, mencapai sekitar Rp 75 triliun, dengan diberlakukannya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Kenaikan tarif PPN ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan keadilan sistem perpajakan di Indonesia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dalam keterangan persnya di Jakarta pada Senin, 16 Desember 2024, menyampaikan bahwa estimasi potensi penerimaan pajak yang mencapai Rp 75 triliun itu berasal dari pemberlakuan tarif PPN yang baru.
Meskipun ada kenaikan tarif PPN, Febrio menegaskan bahwa langkah ini tidak akan berdampak signifikan pada defisit anggaran negara maupun penerimaan negara di tahun 2025.
Pemerintah mematok target defisit anggaran sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan total pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp 3.005,1 triliun.
“Kenaikan tarif PPN ini diperkirakan akan menambah penerimaan negara hingga Rp 75 triliun. Kami akan terus memantau penerimaan pajak dan pengelolaan APBN agar tetap on track,” ujar Febrio.
Lebih lanjut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN 12 persen ini akan dikenakan pada barang-barang mewah serta produk premium yang dikonsumsi oleh kalangan atas, yakni mereka yang termasuk dalam desil 9 hingga desil 10 atau kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan tertinggi.
Contoh produk yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain daging sapi premium seperti wagyu dan kobe yang harganya dapat mencapai lebih dari Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta per kilogram.
Selain itu, bahan makanan lain yang tergolong premium, seperti beras premium, buah-buahan kelas atas, serta ikan mahal seperti salmon, tuna premium, dan king crab juga akan dikenakan tarif PPN baru.
Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk produk-produk premium yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat kaya. Daging sapi yang dikonsumsi secara umum oleh masyarakat, yang harganya berkisar antara Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu per kilogram, tidak akan dikenakan kenaikan tarif PPN.
Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat kalangan menengah ke bawah, sambil meningkatkan penerimaan negara dari sektor konsumsi barang mewah.
“Kenaikan tarif PPN 12 persen ini akan difokuskan pada barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang mampu, seperti daging sapi premium dan bahan makanan lain yang termasuk dalam kategori produk mewah. Kami juga akan memantau agar penerimaan pajak tetap optimal, tanpa membebani masyarakat secara keseluruhan,” jelas Sri Mulyani.