‎Belanja Tak Terduga Sidoarjo Melejit Hingga Rp26 Miliar

Sidoarjo, Lini Indonesia – Data Realisasi Anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tahun 2024 melonjak tajam hingga Rp26,56 miliar, naik 176,47 persen dibandingkan tahun 2023 yang hanya Rp9,61 miliar. Kenaikan signifikan ini menimbulkan tanda tanya publik soal efektivitas dan transparansi penggunaan dana tak terduga yang mestinya dialokasikan untuk keadaan darurat.

‎Dikutip dari laporan resmi Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) Tahun Anggaran 2024, disebutkan lonjakan terbesar BTT terjadi karena berbagai kegiatan lintas dinas, seperti penanganan bencana banjir Rp5,98 miliar, posko tanggap darurat Rp7,36 miliar, dan pengadaan makanan tambahan Dinas Kesehatan Rp810 juta.

‎Namun, sejumlah pos anggaran dinilai janggal karena tidak semuanya tergolong darurat. Misalnya, perbaikan plafon kecamatan Rp79 juta, pembelian air mineral dan cetak banner Rp825 ribu, serta sewa toilet portabel Rp562 juta.

‎Menurut Lembaga Kajian Anggaran Publik (LKAP) Jawa Timur, penggunaan BTT semestinya terbatas pada kondisi luar biasa seperti bencana alam atau kedaruratan sosial, bukan kegiatan operasional rutin.

‎“Jika belanja tak terduga digunakan untuk kegiatan yang sebenarnya bisa direncanakan sejak awal tahun, maka fungsinya bergeser dari tanggap darurat menjadi celah fleksibilitas anggaran,” ujar Direktur LKAP Jatim, Rendra Wahyu, kepada Lini Indonesia, Senin (27/10/2025).

‎Rendra menilai lonjakan BTT sebesar 176 persen adalah “alarm” bagi pengawasan publik. “Ini bukan sekadar angka besar, tapi soal integritas perencanaan. Pemerintah daerah harus menjelaskan apa urgensi di balik pos-pos yang disebut ‘tidak terduga’ itu,” katanya.

‎Sementara itu, berdasarkan dokumen keuangan, sebagian dana BTT juga digunakan untuk pengembalian sisa bantuan keuangan khusus (BKK) dan dana BOP PAUD dari provinsi, total senilai lebih dari Rp1,3 miliar. Padahal, pengembalian dana transfer antarlembaga bukanlah kejadian tak terduga, melainkan kewajiban administratif.

‎Pemerhati kebijakan publik Nur Aisyah dari Forum Transparansi Anggaran (Forta) menilai, praktik semacam ini menunjukkan lemahnya disiplin fiskal. “BTT bukan dompet cadangan serbaguna. Kalau pola seperti ini dibiarkan, akan muncul kebiasaan menutup kekeliruan perencanaan dengan alasan ‘darurat’,” ujarnya.

‎Dalam laporan keuangan itu pula disebutkan total penggunaan BTT oleh sedikitnya sepuluh organisasi perangkat daerah (OPD). Di antaranya BPBD, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Kominfo, dan Dinas Pendidikan.

‎Rendra menegaskan, DPRD harus memanggil TAPD dan Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKAD) untuk memberikan klarifikasi terbuka kepada publik. “Kita butuh penjelasan, bukan hanya angka. Karena setiap rupiah dari pos tak terduga berarti mengorbankan rencana pembangunan lain yang lebih terukur,” katanya.

‎Catatan Redaksi:
‎Lini Indonesia mencatat, belanja tidak terduga yang melonjak dalam tahun politik sering kali menjadi perhatian utama lembaga audit dan masyarakat sipil. Mekanisme pencairan yang lebih cepat dan longgar kerap membuka ruang penyalahgunaan jika tidak diawasi secara ketat.(jn)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *