Sidoarjo, Lini Indonesia – Di tengah banyaknya proyek pemerintah yang molor, serapan anggaran yang tak optimal, hingga retaknya hubungan antara Bupati dan Wakil Bupati, sorotan publik kini beralih ke lembaga yang seharusnya menjadi pengawas tertinggi: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo.
Bukan tanpa alasan. Tahun anggaran hampir berakhir, tetapi sejumlah proyek fisik di Sidoarjo masih tertunda penyelesaiannya. Beberapa proyek infrastruktur jalan, drainase, hingga fasilitas publik dilaporkan belum rampung, sementara dana miliaran rupiah belum terserap maksimal.
“Kalau setiap tahun proyek molor dan serapan rendah, berarti fungsi kontrol DPRD tidak berjalan. Dewan seharusnya tidak hanya hadir saat paripurna, tapi juga mengawal prosesnya dari awal,” kata pengamat kebijakan publik, M. Arif Setiawan, Rabu (12/11/2025).
Politik Kompromi, Pengawasan Melemah
Menurut Arif, akar masalahnya bukan semata soal teknis birokrasi, melainkan politik kompromi di internal pemerintahan daerah. Relasi antara eksekutif dan legislatif di Sidoarjo dinilai terlalu akomodatif, sehingga fungsi kontrol sering kali melemah.
“Ketika DPRD dan Bupati berasal dari koalisi politik yang sama, kritik sering tumpul. Dewan enggan menekan terlalu keras karena takut dianggap melawan arus partai,” ujarnya.
Padahal, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi DPRD kewenangan besar: mengawasi pelaksanaan APBD, mengevaluasi proyek, bahkan menolak kegiatan yang tidak sesuai prioritas pembangunan.
Namun di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak rapat kerja berjalan formalitas tanpa hasil konkret, dan laporan realisasi proyek kerap hanya dibacakan tanpa verifikasi lapangan.
Konflik di Eksekutif, Rakyat Jadi Korban
Kondisi semakin kompleks dengan adanya ketegangan antara Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo yang mencuat ke publik. Konflik di tingkat pimpinan membuat koordinasi antar-dinas tersendat, dan kebijakan pembangunan berjalan tanpa arah yang jelas.
“Kalau dua pucuk pimpinan daerah saling tarik kepentingan, maka pelayanan publik pasti terganggu. Dalam situasi seperti ini, DPRD semestinya turun tangan sebagai penengah politik,” ujar Kasmuin, Direktur LSM Center For Participatory Development (CePAD) Sidoarjo.
Namun hingga kini, belum terlihat langkah konkret DPRD untuk memediasi ketegangan tersebut. Dewan terkesan pasif dan hanya menunggu perkembangan tanpa inisiatif membangun dialog eksekutif.
Proyek Molor, Publik Kehilangan Kepercayaan
Sementara itu, di sisi lain, publik makin kehilangan kepercayaan. Di beberapa kecamatan, proyek jalan dan jembatan belum selesai meski kontrak hampir berakhir. Serapan anggaran rendah juga menjadi ironi, karena banyak kebutuhan masyarakat justru tak tersentuh.
“Kalau DPRD benar-benar menjalankan fungsi pengawasan, mestinya tidak ada proyek molor. Mereka punya hak memanggil kepala dinas, bahkan membentuk pansus,” ungkap Kasmuin.
Waktunya DPRD Bangun Keberanian Politik
Situasi ini menjadi ujian moral bagi DPRD Sidoarjo. Publik menuntut lembaga legislatif daerah itu untuk berani berdiri di atas kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai.
Jika DPRD hanya menjadi pelengkap formal dalam sistem pemerintahan, maka keberadaannya kehilangan makna.
“Warga tidak butuh dewan yang pandai bicara di rapat paripurna, tapi dewan yang berani turun ke lapangan, mengawasi, dan menegur pejabat yang lalai,” tegasnya.
Kini bola tanggung jawab ada di tangan DPRD. Apakah mereka akan menjalankan peran konstitusionalnya sebagai penyeimbang kekuasaan, atau kembali menjadi penonton di tengah carut-marut pemerintahan daerah waktu yang akan menjawabnya.







