Namun tentu langkah terbijak Anda adalah memberi tahu rencana pernikahan Anda kepada orang tua, sekaligus memohon izin dan doa restu mereka. Sebab, sudah barang tentu, salah satu kebahagiaan orang tua adalah menyaksikan pernikahan putra atau putri tercintanya. Lagi pula, cepat atau lambat, pernikahan Anda akan diketahui mereka dan khalayak banyak. Daripada memberi tahu di kemudian hari yang beresiko mengundang kecurigaan, tuduhan kurang baik, serta kekecewaan orang tua, lebih baik Anda menyampaikannya sedari awal.
Adapun niatan baik Anda ingin menghindari perbuatan dosa besar pada saat bertemu kekasih Anda, tentu merupakan niatan yang sangat bagus dan mulia, namun niatan yang baik juga harus diiringi dengan cara yang baik pula menurut syariat. Sebab, menikah merupakan ibadah yang tidak terlepas dari ketentuan syariat.
Terlebih jarak Anda dengan orang tua wali Anda tidak jauh. Maka wali hakim pun tidak bisa langsung menikahkan Anda. Sebab, jarak wali yang tidak jauh sama seperti wali yang hadir, sehingga harus diminta izinnya. Demikian seperti yang dikemukakan Syekh Abu Ishaq:
فإن كان على مسافة لا تقصر فيها الصلاة ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز تزويجها إلا بإذنه لأنه كالحاضر والثاني يجوز للسلطان أن يزوجها لأنه تعذر استئذانه فأشبه إذا كان في سفر بعيد ويستحب للحاكم إذا غاب الولي وصار التزويج إليه أن يأذن لمن تنتقل الولاية إليه ليزوجها ويخرج من الخلاف فإن عند أبي حنيفة أن الذي يملك التزويج هو الذي تنتقل الولاية إليه
Artinya: “Jika wali berada di jarak yang tidak membolehkan qashar shalat, maka di sini ada dua pandangan. Pertama wali hakim tidak boleh menikahkan kecuali seizin wali yang haknya. Kedua wali hakim boleh menikahkan karena sulit dimintai izinnya. Ia diserupakan dengan wali yang jauh. Meski demikian, jika wali tidak ada dan hak kewalian beralih kepada wali hakim, maka hakim tetap disunahkan meminta izin kepada wali yang mendapat peralihan hak kewalian, sebelum menikahkannya. Hal itu demi keluar dari perdebatan. Sebab, menurut Abu Hanifah, yang berhak menikahkan adalah wali aqrab yang mendapat peralihan hak kewalian.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Surabaya: al-Hidayah], juz II/429).(*)