Jakarta, Lini Indonesia – Setelah peluncurannya di Indonesia oleh Elon Musk di Bali, layanan internet berbasis satelit Starlink kini menghadapi tuduhan melakukan predatory pricing.
Tuduhan ini muncul setelah Starlink memberikan diskon besar-besaran pada perangkat kerasnya, dari Rp7,8 juta menjadi Rp4,6 juta, dalam promosi untuk pelanggan baru hingga 10 Juni.
Namun, melalui kuasa hukumnya, Starlink Indonesia membantah tuduhan tersebut. Krishna Vesa dari Soemaipradja & Taher mengatakan bahwa promosi ini adalah praktik umum dan sah menurut hukum.
Ia menegaskan, “Sama sekali tidak ada predatory pricing. Promosi yang dilakukan Starlink hal wajar yang diperbolehkan oleh hukum.” dikutip dari CNN, Jum’at (31/5/2024).
Sebelumnya, perangkat keras Starlink dijual seharga Rp7,8 juta, namun untuk pelanggan awal harganya dipangkas menjadi Rp4,68 juta. Biaya langganan bulanan untuk layanan Starlink sendiri adalah Rp750.000.
Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) adalah salah satu pihak yang mengkritisi tarif murah Starlink. Sekjen ASSI, Sigit Jatipuro, menyatakan bahwa harga Starlink sangat rendah dibandingkan dengan penyedia layanan lokal.
Menurutnya, layanan VSAT tanpa batas dari penyedia lokal paling murah adalah Rp3,5 juta per bulan, sementara harga perangkat keras lokal paling murah adalah Rp9,1 juta.
Akibat dugaan ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengadakan Forum Group Discussion pada 29 Mei, melibatkan berbagai pihak termasuk APJII, ATSI, ASSI, dan perwakilan Starlink Indonesia.
Anggota KPPU, Hilman Pujana, menyatakan bahwa dugaan predatory pricing perlu dibuktikan lebih lanjut dan tidak bisa disimpulkan hanya dari harga yang lebih murah.
Ia menjelaskan bahwa untuk membuktikan predatory pricing, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, dan ini memerlukan proses lebih lanjut.(NA)