Jakarta, Lini Indonesia – Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tetap menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), meskipun kebijakan ini bertentangan dengan janji yang pernah disampaikan oleh calon Presiden Prabowo Subianto dan timnya sebelum menjabat.
Pada 29 Januari 2024, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Prabowo berjanji untuk tidak menaikkan tarif pajak jika terpilih, dan malah akan fokus pada efisiensi pemungutan pajak.
“Pajak itu masalahnya adalah bagaimana kita efisien mengumpulkan pajak, bukan dengan menaikkan tarif setinggi-tingginya. Jika tarif naik, orang akan malas bekerja dan pindah ke negara lain,” ujarnya saat itu dikutip dari Kompas.
Di kesempatan lain, adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, juga menyatakan bahwa pengusaha tidak perlu khawatir tentang kenaikan tarif pajak. Ia menegaskan bahwa yang ingin dilakukan oleh pemerintah adalah menutup kebocoran pajak, terutama dari sektor sawit ilegal, bukan menaikkan tarif pajak.
Drajad Wibowo, yang sebelumnya bagian dari tim kampanye Prabowo-Gibran, bahkan menyatakan bahwa rencana kenaikan tarif PPN bukanlah kebijakan Prabowo dan bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak harus difokuskan pada menutup kebocoran, bukan menaikkan tarif.
Namun, setelah Prabowo resmi menjabat, kebijakan tersebut berubah. Keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN memicu protes dari berbagai kalangan.
Gerakan protes bahkan muncul di media sosial, dengan ajakan untuk “memboikot” pemerintah dengan cara menahan belanja dan berbelanja di warung kecil untuk menghindari PPN.
Pengusaha dari berbagai sektor juga mengungkapkan kekhawatirannya, mengingat kenaikan tarif PPN dapat memicu kenaikan harga barang dan jasa yang akan semakin menekan daya beli masyarakat.
Sementara itu, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengkritik langkah pemerintah ini. Menurutnya, fokus utama pemerintahan Prabowo seharusnya pada peningkatan daya beli masyarakat di 100 hari pertama kepemimpinan, karena daya beli yang tinggi akan mendongkrak konsumsi rumah tangga, yang merupakan motor penggerak ekonomi.
Namun, kebijakan seperti kenaikan tarif PPN dan potongan gaji pekerja untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) justru bisa memperburuk daya beli masyarakat.