Konflik Pimpinan Daerah Bikin Hambat Serapan APBD Sidoarjo

SIDOARJO, Lini Indonesia – Potensi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Kabupaten Sidoarjo tahun 2025 terancam membengkak hingga Rp1,31 triliun. Hingga awal Oktober ini, realisasi APBD baru mencapai 43,16 persen, hanya naik 2,13 persen dari posisi bulan sebelumnya (41,03 persen). Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa janji percepatan serapan yang digaungkan pemerintah daerah empat pekan lalu tidak berjalan sesuai harapan.

Yang memperburuk situasi, sumber internal menyebutkan adanya ketegangan politik antara Bupati Subandi dan Wakil Bupati Mimik Idayana, yang dinilai ikut menghambat koordinasi antarorganisasi perangkat daerah (OPD). Ego sektoral dan tarik-menarik kepentingan disebut menjadi faktor penghambat di balik lambatnya kinerja birokrasi dalam mengeksekusi program.

Read More

Menurut data Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sidoarjo, dari total anggaran Rp2,31 triliun, baru sekitar Rp999,49 miliar yang terealisasi. Padahal, waktu yang tersisa tinggal kurang dari tiga bulan menuju akhir tahun anggaran.

Pengamat kebijakan publik dari Forum Transparansi Anggaran (Fortan) Jawa Timur, Dr. Wahyu Prasetyo, menilai lemahnya sinergi antar pimpinan daerah menjadi faktor krusial yang berpengaruh langsung terhadap kecepatan birokrasi.

“Ketika kepala daerah dan wakilnya tidak satu suara, mesin birokrasi jadi bingung arah. Akibatnya, keputusan strategis seperti lelang, revisi DPA, dan pengesahan kegiatan jadi tersendat. Efeknya langsung terasa pada serapan anggaran,” ujar Wahyu, Kamis (9/10/2025).

Wahyu menambahkan, potensi SILPA yang besar merupakan sinyal buruk bagi efektivitas tata kelola keuangan daerah. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk perbaikan infrastruktur, pendidikan, dan layanan dasar berisiko tidak terserap dan hanya menjadi saldo kas.

“Sidoarjo ini punya ruang fiskal besar, tapi kalau tersandera konflik politik internal, rakyat yang paling dirugikan. Ini bukan soal teknis pengadaan lagi, tapi soal komitmen moral dan kepemimpinan,” tegasnya.

Sementara itu, sejumlah kalangan masyarakat sipil mulai mendesak DPRD agar turun tangan mengawasi kinerja pemerintah daerah. Mereka menilai, jika konflik politik terus dibiarkan, maka janji percepatan serapan APBD hanya akan menjadi retorika tanpa hasil nyata.

“Sudah Oktober, tapi realisasi belum sampai separuh. Ini lampu merah. Jangan sampai APBD hanya jadi catatan angka, bukan solusi bagi kebutuhan warga,” ujar Lestari Handayani, Direktur Lembaga Kajian Tata Pemerintahan (LKTN) Sidoarjo.

Nada serupa juga disampaikan aktivis 98 Badruzaman, yang menilai konflik politik di tingkat pimpinan daerah telah menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Menurutnya, kondisi ini harus segera disudahi jika Sidoarjo ingin keluar dari stagnasi pembangunan.

Related posts