Krisis Iklim dan Fenomena Kantong Plastik

Ilustrasi

Krisis Iklim dan fenomena kantong plastik
Oleh : Muhammad Iqbal Fuadi
 
Suhu bumi seakan kian memanas seiring efek rumah kaca dan emisi karbon mempercepat proses pemanasan global. Selain itu emisi karbon dari efek polusi kendaraan bermotor maupun hasil pembakaran pembangkit listrik juga mendorong percepatan perubahan iklim, kualitas udara di kawasan industri dan kota metropolitan kian tak sehat mengingat banyaknya asap kendaraan mengancam pernapasan akibat sebaran karbon monoksida  berbahaya.

Tak hanya manusia yang merasakan efek negatifnya akan tetapi hewan,  terancam habitatnya bahkan terusir dari tempat ia tinggal berkat penggundulan hutan hingga berakibat pada kebakaran hutan karena kepentingan manusia dalam pembukaan lahan serta pendirian bangunan membuat kualitas udara kian memprihatinkan.

Bacaan Lainnya

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( Karhutla Monitoring System) kebakaran hutan menghanguskan ratusan ribu hingga jutaan luas lahan dalam 4 tahun terakhir jumlahnya bergerak fluktuatif, pada tahun 2016 kebakaran hutan menghanguskan 438.363,19 Ha namun pada periode berikutnya mengalami penurunan di angka  165.483,92 Ha setahun berikutnya pada 2018 kembali rasionya kembali mengalami peningkatan di angka 529.266,64 Ha. Di  tahun 2019 menjadi rekor kenaikan luas lahan terdampak kebakaran hingga 2 kali lipat mencapai 1.649.258,00 Ha angka kebakaran hutan kembali bisa ditekan hal ini dibuktikan dengan menurunnya angka terdampak kebakaran hutan dan  hingga di angka 296.942,00 pada 2020.

Aktor dibalik pembakaran hutan dan lahan tentu saja mengarah pada korporasi besar yang ingin membuka sekaligus memperluas lahan dengan tujuan pendirian bangunan baru sekaligus dengan motif  penghematan biaya operasional.  Berani melakukan tindak kejahatan secara ilegal tanpa menilik dampak yang ditimbulkan pembakaran hutan dan lahan tersebut, karena tentu membuka sebuah lahan tidaklah murah dan membutuhkan proses panjang dalam perizinannya mungkin membutuhkan waktu hingga beberapa tahun untuk mengakuisisi lahan secara resmi. Masyarakatlah yang merasakan dampak dari proses pembakaran dan kian akrab dengan asap hitam pekat hal itulah membuatnya  kian rentan terserang penyakit pernapasan.

Tentu biaya pengobatanpun bukan ditanggung oleh pihak korporasi yang terlibat pembakaran tapi rakyat kecil. Peluang untuk mengeluarkan biaya bagi para korban sangatlah kecil karena biaya yang harus dikeluarkan tidaklah kecil bagi setiap orang terdampak,  justru malah menambah pengeluaran perusahaan. Asap kebakaran hutan mempengaruhi beberapa sektor lain seperti halnya pendidikan, asap  mengancam keselamatan peserta didik dan memaksa mereka untuk belajar dari rumah karena sekolah ditutup sehingga menutup peluang mereka untuk belajar di dalam kelas hingga berakibat pada potensi ketertinggalan pelajaran karena terlalu berisiko apabila beraktivitas di luar rumah. Hal itu juga dirasakan para pelaku usaha  terkhusus para pedagang mengalami kerugian akibat aktivitas ekonomi terganggu dan membuat roda perekonomian terhambat disebabkan daya beli masyarakat rendah membuat para pedagang harus menutup lapak dan pulang tanpa menghasilkan sepeserpun uang.  

Selain itu rasio emisi karbon dioksida juga fluktuatif dalam 4 tahun terakhir,  dengan rincian 2016 berada di angka 128.730.366 pada setahun berselang terjadi penurunan drastis tepatnya berada di kisaran 24.661.563 namun di tahun 2018  kembali terjadi kenaikan di angka 162.663.071 dan kenaikan drastis terjadi pada tahun 2019 berada di angka 624.113.986 akan tetapi pada tahun keempat berhasil ditekan dan berada di angka 40.204.855. Tingginya emisi karbon tentu bukan hanya berasal dari efek kebakaran hutan dan lahan akan tetapi juga asap kendaraan bermotor, selain itu juga ditambah hasil pembakaran batu bara sebagai pemasok tenaga utama pembangkit listrik tenaga uap yang mana nantinya akan dikonversi menjadi energi listrik.
Listrik tersebut kemudian didistribusikan ke masyarakat hingga mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Faktor lain yang mengindikasikan krisis iklim adalah pembakaran sampah rumah tangga menghasilkan asap hitam pekat  juga berpotensi merusak paru- paru manusia  dan juga menjadi polutan bagi lingkungan padahal sampah rumah tangga sebetulnya  bisa dipilah sekaligus didaur ulang atau dikonversi menjadi tenaga elektrik melalui pendayagunaan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Upaya ini menjadi sebuah kampanye untuk mengurangi krisis iklim  juga sebagai promosi kepada masyarakat adanya pembangkit listrik tenaga sampah.

Berdasarkan laman Indonesia.go.id dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melansir jumlah atau rasio sampah secara nasional yang mencapai 67,8 ton pada tahun 2020 lalu,  hal itu menunjukkan ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk. Atau setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari. Angka tersebut mengalami lonjakan dari 2 tahun lalu rasio sampah bila dikalkulasikan secara domestik mencapai 64 juta ton dari total 267 juta penduduk pada 2018.
  
 Hal ini menunjukkan perlunya edukasi mengenai pengelolaan dan pemilahan sampah. Di sisi lain sampah daur ulang dapat menjadi penggerak ekonomi masyarakat bila dikelola secara baik dan tepat menghasilkan barang unik dan bernilai ekspor dapat menjadi komoditi unggulan,sampah hanya barang yang tak layak dan tidak berharga  hal itu menjadi persepsi masyarakat yang tidak melihatnya sebagai peluang ekonomi  menjanjikan dapat diolah menjadi beragam pakaian dapat menjadi trend fashion baru dan sekaligus sebagai kampanye pengurangan sampah plastik atau kerajinan tangan yang unik dan memiliki valuasi tinggi bahkan bisa dijadikan cinderamata.   
Pemerintah sebaiknya menyiapkan program pelatihan pengolahan sampah daur ulang bagi masyarakat mulai dari tingkat terkecil yakni RT atau  RW membentuk dan mengakomodasi kelompok masyarakat yang ingin belajar pengelolaan sampah menjadi barang layak jual sekaligus sebagai dukungan terhadap pengendalian krisis iklim yang banyak juga disebabkan sampah yang menggunung di tempat pembuangan akhir atau ( TPA ) tak terurus sisanya bermuara ke laut yang berpotensi mencemari ekosistem laut mengancam keberlangsungan hidup biota laut hingga berakibat pada kematian.

Selain itu pemerintah perlu mengalokasikan anggaran khusus pengadaan PLTSa atau pembangkit listrik tenaga sampah dengan menempatkannya di lokasi strategis sebagai upaya pencegahan penumpukan sampah di TPA dan juga sebagai bahan bakar PLTSa agar kian optimal. Perlu juga adanya komunitas masyarakat peduli sampah dalam rangka membentuk kesadaran bersama akan berbahanya sampah terutama sampah plastik bagi iklim sehingga secara sadar dapat mengurangi penggunaan kantong plastik dalam aktivitas sehari- hari.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *