Dunia Pendidikan: Menuntaskan Rekrutmen 1 Juta Guru, Apa Dampaknya

Berkebalikan dengan harapan ideal tersebut, pengalaman Indonesia selama ini justru menunjukkan adanya kesulitan untuk merekrut guru yang ideal sesuai harapan. Terdapat dilema yang cukup rumit terkait guru yang akan direkrut, termasuk menyangkut alasan kemanusiaan yang terkadang memaksa untuk harus diterima meskipun tidak ideal.

Dalam rekrutmen satu juta guru PPPK tahun 2021, meskipun pemerintah menyatakan ada kekurangan guru sebanyak lebih dari satu juta, namun pada kenyataannya formasi guru yang kosong tersebut sebagian besar telah diisi oleh guru honorer. Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2020, jumlah guru honorer (non-PNS) di sekolah negeri mencapai 742.459 orang. Jumlah ini yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan kenyataan di lapangan bisa lebih besar lagi. Jika pemerintah benar-benar menyelenggarakan rekrutmen guru PPPK tahun 2021 secara terbuka kepada Sarjana Pendidikan maupun lulusan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG), terdapat kemungkinan dari 742.459 orang ini akan tergusur guru baru dan kehilangan pekerjaan.

Beberapa kelompok guru honorer telah menyampaikan aspirasi sekiranya dapat diangkat langsung menjadi guru PPPK tanpa melalui tes. Untuk menjawab aspirasi tersebut, perlu dilihat kembali bagaimana proses rekrutmen guru honorer tersebut ke satuan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa rekrutmen guru honorer selama ini tidak melalui seleksi yang ketat, sehingga kurang terjamin kualitasnya. Hal ini juga dikarenakan pemerintah tidak dapat memberikan janji kesejahteraan yang cukup bagi guru honorer, sehingga tidak ditetapkan standar dan kualifikasi tertentu dalam proses perekrutan (Sartono, 2021). Namun, meski diberi honor yang tidak layak, para guru honorer ini banyak yang tetap memilih bertahan karena adanya harapan dapat diangkat langsung menjadi pegawai negeri sipil dengan intervensi khusus (Smeru, 2020), sebagaimana pernah terjadi pada pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS pada masa lalu.

Jika saat ini pemerintah mengangkat tenaga honorer tersebut secara otomatis tanpa tes, selain akan menjadi preseden buruk untuk tahun-tahun berikutnya yaitu akan terus banyak orang menjadi tenaga honorer dengan menggunakan pendekatan patrimonialism (tanpa seleksi terbuka yang terstandar dan lebih berdasar kedekatan hubungan) dengan harapan satu saat diangkat tanpa tes, juga akan mengurangi kesempatan putra-putri terbaik bangsa lainnya (non guru honorer) yang ingin mengabdikan diri menjadi guru.

Dilema yang dihadapi adalah, di satu sisi para guru honorer yang telah mengabdi harus diperhatikan (diapresiasi) karena perannya selama ini yang signifikan dalam mendidik anak-anak Indonesia di tengah kekurangan guru ASN. Namun, di sisi lain, pemerintah harus memastikan bahwa guru-guru yang direkrut ini memiliki kualitas yang sesuai standar nasional, salah satunya diukur melalui tes kompetensi, termasuk memberi kesempatan kepada para putra-putri terbaik bangsa lainnya (non guru honorer) yang ingin mengabdikan diri menjadi guru.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *