Perubahan Pola Makan Selama Pandemi COVID-19

Abidah Ardeliyah Mahasiswi Psikologi Universitas Brawijaya (foto dokumen pribadi)

Oleh: Abidah Ardeliyah
Mahasiswi Psikologi Universitas Brawijaya Malang

Pandemi yang sedang melanda dunia ini dimulai dari ditemukannya virus yang akhirnya disebut COVID-19. Dilansir dari laman World Health Organization (WHO), COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus korona baru yang disebut SARS-CoV-2. WHO pertama kali mengetahui virus baru ini pada 31 Desember 2019, menyusul laporan dari sekelompok kasus ‘virus pneumonia’ di Wuhan, Republik Rakyat Cina. The World Health Organization (WHO) juga mengatakan bahwa COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus korona baru, yang sebelumnya belum teridentifikasi pada manusia.

Bacaan Lainnya

Dalam kebanyakan kasus, COVID-19 menyebabkan gejala ringan termasuk batuk kering, kelelahan dan demam, meskipun demam mungkin bukan gejala bagi sebagian orang lanjut usia. Gejala ringan lainnya termasuk sakit dan nyeri, hidung tersumbat, pilek, sakit tenggorokan atau diare. Beberapa orang terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala apa pun dan tidak merasa tidak enak badan. Kebanyakan orang sembuh dari penyakit tanpa memerlukan perawatan khusus. Sekitar 1 dari setiap 6 orang yang terkena COVID-19 menjadi sakit parah dan kesulitan bernapas.

Menurut data yang dimuat di worldmeters.info, total kasus di Indonesia hingga 20 Desember 2020 adalah 76,891,886 kasus dengan total kasus baru 286,065 kasus dan total kematian 1,696,226 kasus. Namun, dari banyaknya penambahan kasus yang ada, Indonesia memiliki total kesembuhan 53,927,941 jiwa.

Dalam menangani pandemi ini, pemerintah Indonesia memiliki protokol kesehatan yang wajib dipatuhi seluruh elemen masyarakat yang tinggal di Indonesia, antara lain seperti mencuci tangan secara berkala, menjaga jarak, dan lain sebagainya. Pemerintah Indonesia juga menerapkan social distancing sebagai tindakan preventif COVID-19.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa social distancing adalah tindakan-tindakan seperti menjauhi kerumunan; kerja, belajar, dan ibadah di rumah; memininalisir bersentuhan dan berdekatan dengan orang lain; mengusahakan untuk berjemur matahari di teras rumah; memastikan sirkulasi udara baik sehingga terhindar dari ruangan lembab; menunda kegiatan massal seperti arisan, reuni, dan sebagainya. Dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19 ini, para pelajar melakukan pembelajaran secara online di rumah dan juga para pekerja yang melakukan pekerjaannya di rumah atau sering kita sebut dengan Work From Home (WFH) sebagai salah satu bentuk quarantine.

Selain itu, sempat ramai di media sosial tagar #DiRumahAja sebagai cara warganet untuk saling memberi semangat dalam menjalani quarantine dan saling mengingatkan agar selalu menjaga diri dari kerumunan dan melakukan berbagai tindakan produktif di rumah saja. Untuk tetap produktif di rumah, banyak dari kita yang mencoba membuat makanan atau minuman yang sedang viral di media sosial, contohnya seperti dalgona, dessert box, dan sebagainya.

Dikarenakan pandemi yang mengakibatkan quarantine kurang lebih selama delapan hingga sepuluh bulan ini, banyak sekali dampak yang ditimbulkan dan mengakibatkan stres psikologis. Stres psikologis ini dapat timbul akibat kurangnya interaksi sosial yang dilakukan secara fisik (bertemu), masalah kesehatan, atau bahkan karena kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

Stress itu sendiri merupakan salah satu faktor yang berperan penting pada Binge Eating Disorder atau gangguan makan berlebihan (Muhammad, 2020). Binge Eating Disorder atau BED adalah gangguan makan berlebihan, yaitu gangguan perilaku makan dimana terjadi episode makan secara berlebihan tanpa adanya perilaku untuk mengontrol asupan makanan tersebut, seperti memuntahkan makanan atau penggunaan obat-obatan pencahar (APA, 2000).

Pada tahun 2000, American Psychiatric Association dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV-TR menyebutkan bahwa gangguan perilaku makan berlebihan ini masuk ke dalam Eating Disorder Not Otherwise Specified (EDNOS) dan membutuhkan penelitian lebih lanjut. Namun, dalam DSM V (2013) telah masuk dalam kelompok Feeding and Eating Disorder dan memiliki kode sendiri, yaitu F50.8.

Selama stres yang berkepanjangan, aksis hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) menjadi hiperaktif yang menyebabkan keinginan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung banyak kalori. Dalam kondisi ini, individu memiliki peningkatan pilihan terhadap makanan yang sesuai dengan seleranya untuk mengurangi efek negatif dari stres, yang disebut dengan hipotesis “comfort food” (Dalman, Mary F, 2010).

Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Italia selama isolasi yang diberlakukan. Penelitian ini menyatakan terkait dengan Emotional Eating Behaviour selama masa isolasi COVID-19, hampir setengah dari responden menyatakan telah merasa cemas karena kebiasaan makan mereka.

Mereka menyatakan telah menggunakan makanan sebagai sarana pembuat kenyamanan dalam menanggapi rasa cemas dan cenderung meningkatkan asupan makanan agar merasa lebih baik (Di Renzo, L, et al, 2020).

Kembali pada topik Binge Eating Disorder, menurut DSM V, ada lima kriteria diagnosis klinis Binge Eating Disorder.

Pertama, episode Binge Eating berulang dan sebuah episode dikarakteristikkan dengan dua hal, yaitu makan dalam periode waktu singkat dengan jumlah yang lebih besar dari biasanya dan kurangnya kemanpuan kontrol makanan dalam setiap episode. Kedua, episode Binge Eating berhubungan dengan beberapa gejala seperti, makan menjadi lebih cepat dari biasanya; makan hingga kenyang yang tidak nyaman; makan dalam jumlah porsi yang besar meskipun tidak merasa lapar; makan secara sembunyi-sembunyi karena malu dengan porsi yang dikonsumsi; dan merasa sangat bersalah, jijik dengan diri sendiri, atau depresi setelah melakukan Binge Eating. Ketiga, timbul distress bermakna yang berhubungan dengan Binge Eating. Keempat, Binge Eating ini rata-rata terjadi setidaknya sekali seminggu selama tiga bulan. Kelima, Binge Eating tidak berhubungan dengan timbulnya perilaku yang tidak wajar seperti pada gangguan makan lainnya.

Kemudian, ada beberapa metode yang dapat dilakukan sebagai penanganan BED yang bertujuan untuk mengurangi frekuensi Binge Eating. Pertama, psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan psikoterapi interpersonal.

CBT menghasilkan penurunan BED dan masalah yang berkaitan, seperti depresi; namun tidak ada penurunan berat badan hanya dengan CBT ( Sadock, Benjamin James, & Sadock, Virginia Alcott, 2015). Terapi interpersonal mempersiapkan individu lebih menyeluruh dalam tantangan kehidupan sosial sehari-hari dibanding CBT yang bekerja cepat dan fokus pada gangguan BED saja.

Kedua, farmakoterapi dengan beberapa obat yang telah teruji dan yang pasti dengan resep yang telah diberikan oleh dokter.

Ketiga, kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi seperti kombinasi CBT dengan obat yang mampu membantu mengurangi frekuensi Binge Eating.

Meskipun demikian, kita tidak boleh asal mendiagnosis diri kita mengalami Binge Eating Disorder karena mengalami beberapa gejala yang disebutkan. Apalagi sampai membeli obat tanpa resep yang diberikan dokter. Jika memang mengalami beberapa gejala yang disebutkan, lebih baik menghubungi dan menanyakannya kepada yang lebih ahli seperti psikolog ataupun psikiater agar dapat ditangani apakah memang mengalami Binge Eating Disorder atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed., text rev.). Washington, DC: Author.

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). VA: Author.

Brownley, K. A., et al. (2016). Binge-Eating Disorder in Adults: A Systematic Review and Meta-analysis. Annals of internal medicine, 165(6), 409–420. https://doi.org/10.7326/M15-2455
Dallman M. F. (2010).

Stress-induced obesity and the emotional nervous system. Trends in endocrinology and metabolism: TEM, 21(3), 159–165. https://doi.org/10.1016/j.tem.2009.10.004
Di Renzo, L., et al. (2020).

Psychological Aspects and Eating Habits during COVID-19 Home Confinement: Results of EHLC-COVID-19 Italian Online Survey. Nutrients, 12(7), 2152. https://doi.org/10.3390/nu12072152
Goutama, Ivon Lestari. (2016).

Pendekatan Klinis Binge Eating Disorder. Jurnal CDK-247/ Vol. 43 (12). Diakses pada 20 Desember 2020, http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/897/639.

Hilbert, A., et al. (2012). Long-term efficacy of psychological treatments for binge eating disorder. 

The British journal of psychiatry : the journal of mental science, 200(3), 232–237. https://doi.org/10.1192/bjp.bp.110.089664

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *